View Full Version
Ahad, 20 Sep 2009

Menyusup ke Sarang MILF, Kelompok Separatis Moro di Mindanao (1)

Wawancara sambil Diawasi 10 Orang Bersenjata


Moro Islamic Liberation Front (MILF) masih menjadi organisasi paling ''memu­singkan'' pemerin­tah Filipina. Mempunyai tak kurang dari 125 ribu tentara, punya akademi militer sendiri yang juga sering dipakai oleh ke­lompok Islam militan Indonesia. Wartawan Jawa Pos Kardono Setyorakhmadi menyusup ke salah satu kamp MILF dengan segenap liku-likunya.

---

SAYA tak pernah membayangkan harus me­lalui rute sesulit ini untuk bertemu dan ber­wawancara dengan Mustafa Aid Kabalu, orang nomor tiga MILF yang sekaligus juru bi­cara kelompok itu, di Cotabato City. Berjalan me­masuki hutan yang penuh jebakan dan sniper selama enam jam, disambung dengan pe­nyeberangan kawasan rawa-rawa menggu­nakan pump boat selama empat jam.

Wawancara saya kali ini juga dilakukan de­ngan penjagaan paling ketat di antara yang per­nah saya alami. Betapa tidak, ketika saya me­wawancarai dia, sedikitnya ada 10 orang ber­senjata yang mengawasi wawancara tersebut.

Dua penjaga berada di halaman rumah dan delapan lainnya bersiaga di samping kanan, kiri, serta depan luar rumah tersebut

Di sepan­jang jalan selebar 3 meter di depan rumah di bagian utara Cotabato City tersebut, masih banyak anggota MILF lainnya. Mereka juga tinggal di rumah itu. Kata penunjuk jalan saya, rumah tersebut juga mempunyai jalan keluar tersembunyi.

Kabalu bersikap hati-hati ketika menerima saya. Namun, setelah saya mengenalkan diri lebih jauh, sikap yang awalnya kaku langsung cair. Bahkan semakin ramah ketika tahu bahwa saya muslim dan pernah melakukan tugas jurnalistik di Palestina. ''Ahlan wa sahlan, akhi (selamat datang, saudaraku, Red),'' ucapnya bersahabat dengan muka tersenyum.

Seusai wawancara, saya menanyakan bagaimana dia cukup percaya diri untuk tak bersembunyi dalam sebuah kamp di tengah hutan, misalnya? Dia langsung tertawa dan menjawab, ''Jika AFP (Armed Forces of Philippi­nes, Angkatan Bersenjata Filipina, Red) me­nangkap saya, mereka bodoh. Situasi akan lebih memburuk,'' ucapnya percaya diri.

Selain itu, dia menyatakan bahwa memang ada kemungkinan tentara menangkap dirinya dan memang dirinya menjadi salah satu target tentara. ''Tapi, itu hanya akan terjadi bila tak waspada (not alerted). Bila Anda waspada, sejam sebelum tentara datang, Anda sudah tak ada di tempat,'' ujarnya lantas tersenyum.

Jadi, intelijen Anda, tampaknya, cukup bagus, sehingga bisa mengetahui rencana penyer­buan beberapa waktu sebelumnya? ''Dalam suasana konflik, Anda pasti akan selalu waspada, bukan?'' katanya.

Aid Kabalu dan sejumlah tokoh MILF lainnya memang patut percaya diri. Penunjuk jalan saya yang juga seorang perwira di MILF meng­ungkapkan bahwa ''musuh'' MILF memang hanya AFP.

Bagaimana dengan polisi? ''Dengan polisi, kami malah dekat. Bila ada pertempuran, biasanya polisi hanya mencari tempat berlindung dan tak mau tahu,'' tuturnya.

Singkatnya, polisi regional di Mindanao Selatan bersikap cuek bila ada konflik antara MILF dan AFP. Prinsip para polisi itu: perang bukan urusan saya. Kalau mau perang, perang aja sana...

Saat ini, sebenarnya muslim Moro merupakan kelompok minoritas di Mindanao. Di antara total sekitar 20 juta jiwa penduduk yang mendiami Mindanao, jumlah muslim Moro mungkin hanya sepuluh persen atau sekitar dua juta jiwa.

Kebanyakan mereka berada di kawasan Minda­nao Tengah (Marawi, North Cotabato, dan Cotabato City) serta di Mindanao Selatan (Buluan, Sultan Kudarat, Tipu-Tipu, dan General Santos).

Pusat pemerintahan MILF terletak di sebuah kamp nonmiliter di Kamp Darapanan, 10 km ke Utara Cotabato City. Selain pusat operasional, kamp itu menjadi jujukan tim peninjau dari negara-negara asing terkait konflik bersenjata MILF dengan pemerintah Filipina.

Sejarah konflik tersebut sangat panjang. Pada abad ke-16, kaum muslim Moro sudah mengangkat senjata melawan penjajahan Spanyol. Tapi, mereka kurang berhasil, bahkan malah terdesak ke daerah selatan. Perjuangan muslim Moro terus berlanjut hingga pendudukan Amerika pada abad ke-18.

Nah, konflik kontemporer yang terjadi hingga sekarang ini bermula pada 1972. Ketika itu, Presiden Ferdinand Marcos menerapkan kondisi perang ''Martial Law''. Akibatnya luar biasa. Terjadi konflik horizontal antara suku muslim dan nonmuslim di Mindanao Selatan. Perang tersebut memusnahkan banyak perkampungan muslim. Banyak tanah dan harta milik kaum muslim Moro yang berpindah tangan.

Uluran tangan persaudaraan dari Libya pun sempat mampir. ''Banyak di antara kami yang kemudian belajar ke Libya. Saya juga termasuk salah seorang lulusan Libya,'' jelas Kabalu.

Untuk membuat perjuangan lebih terorgani­sasi, para pejuang Moro kemudian membentuk Moro National Liberation Front (MNLF) di bawah pimpinan Dr Nur Misuari.

Namun, dalam perkembangannya, kelompok ter­sebut terpecah. Mula-mula pada Juli 1982, MILF didirikan di bawah pimpinan Ustad Salamat Hashim. ''Ada sejumlah perjanjian yang diteken MNLF yang tak sesuai dengan kaidah perjuangan kami. Karena itu, kami kemudian memilih berpisah dan mendirikan MILF,'' tutur Kabalu.

Perjanjian yang diteken tersebut memang memberikan otonomi khusus kepada bangsa Moro. Namun, secara keseluruhan justru menunjukkan bahwa bangsa Moro takluk kepada pemerintah Filipina.

Selanjutnya, MNLF lagi-lagi pecah. Setelah MILF yang mayoritas dari suku Manguindanao, Maranao, dan Iranon, suku Taosug dan suku Yakan di Basilan mendirikan kelompok baru lagi, yakni kelompok Abu Sayyaf.

Menurut Senior Liaison Officer (SLO) Kepo­lisian KBRI di Filipina Kombes Pol Moh. Nur Usman, ada empat kelompok bersenjata yang dianggap ''pemberontak'' oleh Filipina. Yakni, MILF, MNLF, Abu Sayyaf, dan NPA (New People's Army), sebuah kelompok komunis yang bercita-cita menjadikan Filipina menjadi ne­gara komunis. ''Tapi, yang dianggap paling be­rat adalah MILF,'' tutur Usman.

Mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya tersebut menuturkan, sejauh ini, MNLF memang dianggap sudah ''melunak'' dan kooperatif. Sementara itu, Abu Sayyaf dikategorikan lebih seperti ''bandit''. Dengan ''hobi'' menculik dan merampok warga asing, kelompok yang namanya berarti ''Pembawa Pedang'' itu dianggap belum menjadi ancaman berarti. ''Apalagi, platform perjuangannya lebih mengarah ke perang global, memerangi Amerika,'' ungkap perwira dengan tiga mawar di pundak tersebut.

Sementara itu, meski tersebar di mana-mana, NPA belum menunjukkan kemampuan militer yang memadai. Persenjataan mereka rata-rata didapatkan dari gun store-gun store yang tersebar di Filipina. Paling banter, persenjataan mereka hanyalah senapan otomatis seperti M-16.

Hal itu berbeda dari MILF. Selain personelnya paling banyak dan mempunyai akademi militer sendiri, persenjataan kelompok tersebut paling lengkap. Mereka mempunyai senjata anti serangan udara, bahkan RPG (senapan anti-tank). ''Beberapa kali utusan NPA datang kepada kami untuk beli persenjataan berat. Tapi, tak pernah kami beri,'' tegas Mario, nama samaran untuk guide saya, dalam perjalanan mengantarkan saya ke Kamp Abu Bakar. Dia memang tak mau saya mengutip nama aslinya dengan alasan keamanan.

Kabalu mengklaim bahwa pihaknya kukuh mempunyai basis kuat di sejumlah daerah ka­rena didukung masyarakat setempat. ''Kami tak mungkin kuat bila tidak didukung rak­yat,'' ucapnya.

Pada 1995, sepanjang Cotabato City hingga Marawi (yang berjarak sekitar 200 km ke arah utara) dan ke arah Buluan (sekitar 200 km ke arah se­latan) menjadi daerah kekuasaan MILF. Ditam­bah, ketika itu dibantu oleh orang-orang JI (Jamaah Islamiyah), banyak bermunculan kamp militer.

Menurut Mario, akademi militer tersebut betul-betul mengakomodasi akademi pelatihan militer di Afghanistan. ''Semua yang dipelajari persis sama,'' urainya.

Karena itu, racikan bom di Filipina maupun Indonesia sama semua. ''Ramuannya ya itu, black powder selalu menjadi andalan. Kare­na keterbatasan bahan baku, kami memang harus menggunakan apa yang tersedia saja,'' je­las seorang anggota senior JI Indonesia yang pernah menjadi instruktur di kamp-kamp militer tersebut.

Tak seberapa lama, Kamp Abu Bakar kemudian berdiri. Yang disebut Kamp Abu Bakar sebenarnya adalah sebuah kamp induk seluas lebih dari 10.000 hektare yang di dalamnya terdiri atas sekitar 15 kamp. Saking luasnya, wilayah Kamp Abu Bakar itu masuk ke dalam enam kota. Yang termasuk menjadi bagian adalah Kamp Hudaibiyah, sebuah kamp yang didirikan Nasir Abbas, mantan anggota JI dari Malaysia yang telah menulis dua buku mengenai pengalamannya semasa menjadi anggota JI. (jawapos)


latestnews

View Full Version