Yala - Tiga tentara termasuk di antara 25 orang cedera akibat serangan bom pada Senin di pasar penuh sesak di wilayah bergolak Thailand selatan, kata polisi setempat.
Peledak itu, yang disembunyikan di sepeda motor parkir di depan pasar di kota Yala, meledak pada pukul 07:30 saat pembeli berbelanja makanan.
Tiga belas orang di rumahsakit pada Senin malam, satu di antara mereka luka berat, kata sumber kesehatan kepada kantor berita Prancis AFP.
Perlawanan sengit di propinsi selatan itu, yang berpenduduk sebagian besar suku Melayu, menewaskan lebih dari 3.900 orang dalam lima tahun belakangan.
Pejuang bayang-bayang menyasar warga Siam dan Melayu, dengan korban beragam dari guru dan petugas keamanan hingga pekerja perkebunan karet.
Perlawanan itu meledak pada Januari 2004, tapi ketegangan terpupuk di daerah tersebut, sebelumnya kesultanan mandiri Melayu, sejak dicaplok Thailand, yang berpenduduk sebagian besar suku Siam, pada 1902.
Wilayah berbatasan dengan Malaysia itu hanya beberapa jam dengan mobil dari beberapa pantai Thailand, yang terkenal di kalangan wisatawan.
Kekerasan meningkat saat suku Melayu berjuang mendapatkan swatantra dari Thailand.
Sebagian besar penduduk Melayu setempat menentang kehadiran puluhribuan polisi, tentara dan pengawal Siam bersenjata milik negara di wilayah kaya karet itu.
Pejuang Melayu berjuang melawan pemerintah pada 1970-an dan 1980-an, namun berhenti dengan pengampunan bagi pejuang.
Tidak satu pun kelompok menyatakan bertanggungjawab atas setiap serangan itu.
Pejuang Melayu bayang-bayang, yang belum pernah mengumumkan tujuan mereka, menyasar warga Melayu dan Siam, baik penduduk maupun anggota pasukan keamanan, termasuk relawan pertahanan.
Relawan pertahanan dilatih dan dipersenjatai oleh negara untuk melindungi penduduk dari pejuang.
Guru sering menjadi sasaran di wilayah itu, karena dianggap gerilyawan Melayu sebagai bagian dari usaha pemerintah pusat di Bangkok untuk menerapkan kebudayaan Siam.
Pemerintah Thailand pada Selasa memperpanjang tiga bulan masa keadaan darurat di wilayah bergolak di bagian selatan negara itu.
Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva menyatakan aturan itu akan menetap di propinsi Narathiwat, Pattani, Yala dan beberapa bagian Songkhla, tempat lebih dari 3.900 orang tewas sejak perlawanan meledak pada Januari 2004.
Peraturan itu, yang harus dibarui tiap tiga bulan, memberi pasukan keamanan kekuasaan mencari dan menyita serta kekebalan luas dari penuntutan.
"Keadaan darurat masih diperlukan di selatan, tapi pelaksanaannya akan lebih terbuka," kata Abhisit kepada wartawan.
Ia menyatakan pemerintah akan membentuk panitia untuk menyelidiki tuduhan penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berwenang.
Kelompok hak asasi mengecam undang-undang itu dan menyatakannya akan menimbulkan iklim pembiaran di daerah itu, tempat 60.000 tentara ditugaskan untuk menghentikan perlawanan pimpinan pejuang bayang-bayang, yang belum pernah mengumumkan tujuan mereka.
Abhisit menyatakan kabinet menyetujui aturan itu untuk mengganti yang lebih lunak dengan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA) di Songkhla pada ahir November.
"Itu akan menjadi awal pemakaian sedikit kekuatan, kurang keketatan. Jika hasilnya memuaskan, ISA akan menggantikan keadaan darurat di tiga propinsi lain tersebut," tambah Abhisit.
[voa-islam/EBaru]