View Full Version
Sabtu, 23 Jan 2010

Pejuang Patani Tidak Berharap Pada Perdamaian

Thailand Selatan (Voa-Islam.com) - Penyerahan diri secara bertahap yang dilakukan Suthirak Kongsuwan, salah seorang tersangka di balik pembantaian sebuah masjid di Narathiwat bulan Juni 2009 pada pekan lalu, mungkin tidak membawa ruang bernapas yang cukup bagi pemerintah Abhisit, karena kata para anggota dari kelompok pejuang Patani, kerusakan mungkin tidak dapat diubah. Sebuah rahasia proses perdamaian telah keluar dari relnya dan ini akan memakan waktu beberapa lama sebelum kembali ke jalurnya.
 
Lebih dari tujuh bulan yang lalu, enam pria bersenjata menyelinap ke sebuah masjid yang penuh dengan orang-orang yang sedang melakukan shalat Isya di sebuah desa yang dikelilingi oleh kamp-kamp militer Thailand. Mereka melepaskan tembakan, menewaskan sepuluh orang di tempat kejadian dan melukai 11 lainnya.

Korban ke 11 meninggal di rumah sakit keesokan harinya. Dalam reaksi keterkejutan yang tolol, Wakil Perdana Menteri Suthep Tuegsuband bersikeras bahwa pembantaian 8 Juni 2009 di masjid Al-Furqan desa Ai Bayae Narathiwat itu, bukan merupakan pekerjaan aparat keamanan Thailand, meskipun ia tidak bisa mengatakan dengan pasti siapa orang-orang bersenjata tersebut.

11 muslim tewas dalam pembantaian di masjid Al-Furqan di Ai Bayae

Media lokal melaporkan pejabat keamanan yang tidak disebutkan namanya mengatakan, pembantaian tersebut adalah pekerjaan dari Pejuang Muslim Patani yang bertekad memisahkan diri dari Thailand. Laporan lainnya mengutip sumber-sumber yang tak disebutkan namanya yang mengatakan pembantaian itu berasal dari konflik antara para Dai Muslim dan penduduk desa Melayu, yang menganut mazhab pemikiran yang berbeda. Sebuah pernyataan yang sangat keliru, sebab meskipun pandangan teologis mereka mungkin berbeda, tidak pernah ada dalam sejarah penyebaran Islam di pedalaman Selatan memiliki perbedaan mencolok hingga berujung pada kepada kekerasan, apalagi sampai pada pembantaian.

..enam pria bersenjata menyelinap ke sebuah masjid yang penuh dengan orang-orang yang sedang melakukan shalat Isya di sebuah desa yang dikelilingi oleh kamp-kamp militer Thailand. Mereka melepaskan tembakan, menewaskan sepuluh orang di tempat kejadian dan melukai 11 lainnya..

Dalam enam tahun terakhir kekerasan yang meningkat, hanya terjadi satu insiden yang diduga dilakukan oleh pejuang Muslim Patani, yang membunuh sasarannya di masjid. Tempatnya adalah sebuah masjid desa di distrik Panare Patani, dan korbannya adalah seorang perwira Polisi Patroli Perbatasan. Penyerang menunggu sampai ia menyelesaikan doa-doanya sebelum ia menembak sang polisi pada satu titik dari jarak dekat.

Sedangkan pembantaian 8 Juni 2009 dimana dilakukan saat kaum Muslimin tengah shalat berjamaah, sangat tidak sesuai dengan perhitungan itu. Maka ketika pihak berwenang menyebut bahwa pembantaian 8 Juni dilakukan oleh para pejuang Patani, tak seorang pun percaya kepada mereka, termasuk pejabat kunci dari keamanan dan administrasi, di daerah yang sangat mudah berubah ini.

Menurut militer dan pejabat sipil yang memantau situasi dari kawasan itu, pembantaian 8 Juni adalah hasil dari sebuah aksi saling balas, pemboman dan penembakan yang hebat antara pejuang Patani dan unit keamanan dengan bantuan regu pembunuh pro pemerintah.

..Bagi para pejuang di Selatan, titik kulminasi kesabaran mereka telah mencapai ambang batas dan para pejuang tidak akan membiarkan pemerintah melupakannya..

Pembunuhan merupakan kejadian sehari-hari di Thailand setelah peristiwa perampasan senjata Januari 2004 dan puncaknya adalah pembantaian di masjid Al-Furqan Ai Bayae. Aksi saling balas tersebut juga dipicu oleh keputusan pengadilan Thailand. Dimana putusan tersebut membebaskan semua pejabat keamanan Thailand dari semua kesalahan atas keterlibatan mereka dalam pembantaian Tak Bai pada September 2004, ketika itu 78 demonstran tak bersenjata dari Muslim Melayu meninggal akibat mati lemas karena pejabat keamanan Thailand menumpuk mereka satu dengan lainnya di bagian belakang truk-truk pengangkut militer.

Peristiwa Tak Bai yang menewaskan 78 orang muslim tidak bersenjata

Segera setelah keputusan hakim yang sangat tidak adil tersebut, sasaran empuk seperti pasar dan restoran yang tidak pernah menjadi sasaran pejuang Muslim di tahun-tahun sebelumnya, masuk kedalam daftar sasaran. Bagi para pejuang di Selatan, titik kulminasi kesabaran mereka telah mencapai ambang batas dan para pejuang tidak akan membiarkan pemerintah melupakannya.

Bagi PM Abhisit Vejjajiva, pembantaian tersebut adalah sebuah kemunduran atas beberapa upaya yang sedang dia lakukan. Selain membawa ketidakadilan yang lebih mendalam antara negara dan komunitas muslim Malayu, hal itu mengancam akan menggelincirkan proses perdamaian pemerintahannya yang telah dilaksanakan.

Sebelumnya dalam upaya untuk melakukan perdamaian, Abhisit membentuk panitia kecil terdiri dari anggota parlemen terpercaya dan pejabat dari Dewan Keamanan Nasional (NSC) untuk berbicara dengan kelompok-kelompok pejuang di pengasingan yang telah lama berdiri. Kelompok-kelompok ini termasuk diantaranya Patani United Liberation Organisation (PULO) dan berbagai cabang Barisan Revolusi Nasional (BRN). Idenya adalah untuk menjadikan keduannya bertindak sebagai perantara antara pemerintah dan generasi baru militan.

Berbagai hal yang menyangkut proses perdamaian telah bergerak sesuai dengan yang diharapkan, sampai akhirnya rusak kembali akibat terjadinya pembantaian 8 Juni 2009. Menurut anggota Koordinasi PULO dan BRN, para pejuang Patani menuntut agar pemerintah Thailand menangkap enam orang bersenjata sebagai pertukaran dukungan mereka terhadap proses perdamaian.

..Menurut anggota Koordinasi PULO dan BRN, para pejuang Patani menuntut agar pemerintah Thailand menangkap enam orang bersenjata sebagai pertukaran dukungan mereka terhadap proses perdamaian..

Pada dasarnya, bola ada di pengadilan pemerintah: menangkap ke enam orang tersebut dan membawa proses perdamaian kembali ke jalurnya. Tapi mendapatkan pejabat untuk melakukan penangkapan itu tidak akan mudah, terutama ketika ke enam pria bersenjata itu, menurut berbagai sumber, termasuk Human Rights Watch, adalah anggota pasukan kematian pro pemerintah.

Menurut sebuah sumber informasi, polisi akhirnya menahan lima pria bersenjata, termasuk diantara mereka adalah seorang Muslim asal Narathiwat yang telah bekerja sebagai mata-mata pemerintah Thailand untuk sebuah gugus tugas militer setempat - sedang pria keenam telah bunuh diri, mungkin karena takut adanya pembalasan. Yang lain mengatakan para tersangka itu disimpan di sebuah "rumah aman" sampai semua pemangku kepentingan di sisi pemerintah bisa mencari tahu apa yang harus dilakukan.

Penyerahan secara bertahap Suthirak berasal dari tekanan besar berbagai pihak, termasuk anggota parlemen dari daerah, yang takut atas kelambanan pemerintah bisa merugikan mereka secara politis. Jika "pertunjukkan" penyerahan Suthirak secara politik terbayar, masyarakat dapat melihat lebih banyak tersangka yang akan tunjukkan kepada publik, menurut sumber pemerintah.

Pulo dan anggota BRN mengatakan mereka tidak berharap bahwa penyerahan Suthirak, salah satu dari lima orang yang seharusnya ditahan, akan membawa proses perdamaian ke jalurnya dalam waktu dekat.

"Para pejabat Thailand tahu dari awal bahwa semakin lama mereka menunggu, akan semakin sulit menempatkan dialog ke jalurnya," kata seorang anggota Koordinasi BRN.

Selain itu, kata anggota BRN, Juwae - sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan generasi baru Pejuang Patani - bagaimanapun juga tidak terlalu tertarik melakukan pembicaraan dengan orang Thailand.

"Cara mereka melihat itu, mereka menang. karena mereka memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Mereka akan dapat menekan pihak berwenang Thailand lebih atau kurang, pada setiap saat, di setiap tempat. Kecuali jika pemerintah bersedia membuat konsesi serius, seseorang harus melupakan melihat terjadinya perdamaian di daerah tersebut dalam waktu dekat. " (aa/pn)


latestnews

View Full Version