Kuala Lumpur (Voa-Islam.com) - Seorang pengusaha Malaysia yang ditahan tanpa diadili selama tiga tahun di bawah undang-undang keamanan keras memenangkan 3.3 juta ringgit (Rp 3,5 miliar) sebagai ganti kerugian dari pemerintah dalam sebuah vonis pengadilan, kata pengacaranya.
Hakim Pengadilan Tinggi Mohamad Hishamuddin Mohamad Yunus memutuskan bahwa penahanan Badrul Zaman PSMohamed di bawah Internal Security Act (ISA) pada tahun 1991 melanggar hukum dan ilegal, kata pengacara M Manoharan.
Badrul, 58, ditangkap tahun 1991 karena diduga mengeluarkan paspor Malaysia palsu untuk imigran ilegal Sri Lanka yang ingin menggunakan Malaysia sebagai tempat transit untuk bermigrasi ke Eropa, katanya.
Badrul tidak pernah tuntut di pengadilan dan dibebaskan pada tahun 1994 setelah menantang keabsahan penahanannya di pengadilan.
"Hakim sangat tegas bahwa pemerintah telah salah dalam menahan orang tanpa pengadilan. Ini adalah pesan yang sangat jelas bagi pemerintah untuk menghapuskan ISA segera dan untuk semua.. Mereka harus membayar semuanya disebabkan ketidakadilan tersebut," kata Manoharan kepada The Associated Press .
..pemerintah telah salah dalam menahan orang tanpa pengadilan. Ini adalah pesan yang sangat jelas bagi pemerintah untuk menghapuskan ISA segera dan untuk semua..
Badrul, yang menuntut pemerintah akhir tahun 1994, adalah orang kedua yang ditahan di bawah Undang-Undang Keamanan telah diberikan ganti kerugian.
Hakim pengadilan tinggi yang sama pada tahun 2007 menghadiahkan 2.5 juta ringgit kepada seorang aktivis, Abdul Malek Hussin untuk penahanan ilegal di bawah undang-undang tersebut dan dugaan penyiksaan saat dalam tahanan polisi setelah ia ditahan karena berpartisipasi dalam protes anti-pemerintah.
Bagaimanapun keputusan Pengadilan Banding tersebut, membatalkan vonis pada bulan Maret lalu.
Manoharan mengatakan pemerintah juga memungkinkan untuk mengajukan banding terhadap putusan pengadilan dalam kasus Badrul.
Para kritikus telah lama menuduh pemerintah menggunakan actto keamanan untuk membungkam perbedaan pendapat politik. AP