JAKARTA (voa-islam.com) – Benarkah aktivis Mer-C dr. Jose Rizal cenderung mendukung rezim jahat Bashar Assad? Jika melihat beberapa tulisannya di situs Republika Online dan wawancaranya dengan kontributor IRIB Indonesia di Jakarta, memang menunjukkan sikap pro Jose Rizal kepada Bashar Assad yang kejam, terkait konflik Suriah.
Mengapa sejumlah aktivis Islam, termasuk MIUMI dan MMI sangat menyayangkan opini Jose Rizal terkait Suriah. Bagi yang belum tahu pandangan Jose Rizal terkait Konflik Suriah, berikut wawancara IRIB Indonesia dengan Jose Rizal yang diposting pada 10 Mei 2013.
Jose Rizal ditanya, Anda selalu mengaitkan Krisis Suriah dengan Libya, sebenarnya apa yang terjadi? Jose Rizal menjawab, Khadafi dijatuhkan itu problem, karena melibatkan mujahidin, yang dikomandani Abdul Hakim bil Haj, bekas tahanan Guantanamo yang ditangkap CIA di Bangkok. Dialah yang memimpin penaklukan Tripoli. NATO dan AS terlibat merancang Humanitarian Intervension, menciptakan seolah-olah terjadi krisis kemanusiaan, kemudian memberlakukan no fly zone.
“Keadaan seolah kacau, kemudian tentara NATO dan seolah-olah bersama rakyat Libya, menumbangkan Khadafi. Saya tidak setuju itu, apapun alasanya jika meminta NATO dan AS artinya melupakan tangan AS dan NATO berdarah-darah di Afganistan dan Irak.”
Pertanyaan kenapa meminta bantuan AS dan NATO untuk menumbangkan Khadafi yang dianggap otoritarian. Kalau saya dibantu NATO dan AS untuk menumbangkan SBY enggak mau saya. Arsitek pengatur pergantian rezim Khadafi dan Bassar Assad adalah sama, Hakim bil Haj yang ikut terlibat rapat-rapat di Turki.
Menurut Jose Rizal, Problem Suriah adalah bagaimana membuat the new road map. Fokusnya mengamankan Israel, bumbu-bumbu isu yang dimainkan adalah demokrasi, tiran, dan Syiah-Sunni itu variable. Apa Qatar, Arab Saudi itu demokratis sehingga mereka bisa menuntut Suriah harus demokratis. Kesalahan terbesar umat Islam dari dulu adalah menentukan musuh bersama, dan saya mencoba konsisten, musuh itu Zionis.
Kemudian dalam Situs Republika Online yang diposting pada 7 Juni 2012 Kenapa Harus Suriah? (1,2,3), Jose Rizal menulis, Israel sangat serius memandang ancaman kedua kelompok perlawanan ini (Hamas dan Hizbullah), karena secara kekuatan mereka bukan negara tapi dapat mengimbangi, bahkan mengalahkan Israel ketika Israel mulai melakukan serangan darat.
“Saat ini, di dunia Arab sedang ada tren mengganti penguasa yang sudah lama berkuasa dalam suatu gerakan Arab Spring dengan dalih untuk menegakkan demokrasi. Ini adalah road map-nya kebijakan luar negeri Amerika. Kita tahu kebijakan luar negeri AS ditentukan oleh badan-badan lobi Israel (AIPAC, ADL, CFR, Rand Coorporation, Bilderberg, dan lain-lain).”
Selanjutnya, Jose menulis, dari penguasa yang sudah tumbang dan yang sedang diusahakan tumbang, Qaddafi dan Bashar mempunyai kontribusi besar untuk Palestina. Penulis menyaksikan sendiri bantuan Qaddafi bertruk-truk antre di Rafah Mesir saat Gaza diserang Israel tahun 2009.
“Rencana penurunan Bashar ini semata-mata bukan persoalan Bashar demokratis atau tidak dan tiran atau tidak, karena ada penguasa Arab seperti ini tidak disuruh turun oleh AS, malah diajak kerjasama oleh AS untuk menurunkan Qaddafi dan Bashar. Israel menginginkan Bashar turun! Seperti biasa, Israel memperalat AS melalui kebijakan luar negerinya.”
Bersamaan dengan semangat Arab Spring, Israel dan AS menunggangi isu ini untuk menurunkan Bashar. Supaya lebih efektif, isu ini ditambah tonasenya dengan isu sektarian, konflik Sunni-Syiah sama seperti Qaddafi yang disebut inkar sunnah.
“Israel, AS, Arab Saudi, Qatar, Turki dan Eropa berada dalam satu blok melawan Rusia, Cina dan Iran dalam konflik Suriah ini. Rusia sangat berkepentingan melawan dominasi AS di Timur Tengah karena tinggal Suriah tempat berpijak Rusia setelah Libya jatuh ke tangan Barat. Selain itu, AS juga mengacak-ngacak Rusia dengan cara meletakkan perimeter anti-rudalnya di bekas negara Uni Soviet seperti Georgia.”
Jose menulis, Iran adalah negara yang tidak disenangi oleh Saudi Arabia, Qatar dan negara Arab lainnya karena berhasil melakukan Revolusi 79 menumbangkan Raja Reza Pahlevi yang juga sahabat penguasa Saudi Arabia.
Para raja-raja khawatir revolusi tersebut diekspor ke negara-negara mereka. Salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan mereka, isu yang paling ampuh ditiupkan adalah Iran adalah negara Syiah bukan negara Islam karena Syiah sesat.
Iran mempunyai kepentingan yang besar di Suriah karena Bashar bisa menjamin jalur logistik Hizbullah. Israel dan Barat menggunakan segala cara untuk menurunkan Bashar, termasuk mempersenjatai oposisi dengan senjata berat. Di sinilah peranan Saudi Arabia, Qatar dan sedikit Turki.
Israel dan Barat juga menggunakan media dan PBB untuk membantu mereka. Hal ini mulai terlihat ketika terjadinya pembantai 25 Mei di Houla. Tampak dengan jelas bagaimana media dan PBB berusaha memperkeruh situasi supaya AS dan NATO dapat melakukan intervensi dengan payung PBB atas nama kemanusiaan. Konflik belum selesai, kita lihat bagaimana permainan Israel ini berjalan.
Demikian pandangan Jose Rizal terkait Konflik Suriah. [desastian]