JAKARTA (voa-islam.com)--Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menjadi pihak terkait dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (18/7/2022).
Kuasa hukum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Abdullah Al Katiri, mengatakan pengaturan hak asasi manusia (HAM) dalam UUD 1945 dibatasi dengan adanya undang-undang, yang mengatur pelaksanaan HAM sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
“Tidak ada satu pun HAM di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas,” kata Abdullah dalam risalah sidangnya, Senin (18/7/2022).
Abdullah menjabarkan permohonan pemohon mendalilkan HAM untuk melegalkan pernikahan beda agama merupakan argumen yang lemah dan tidak beralasan hukum sebab dengan hal tersebut, pemohon justru menunjukkan ketidakmengertiannya dengan aturan hukum yang ada di Indonesia.
Gugatan ini tercatat diajukan E Ramos Petege (Pemohon) merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Ramos merasa dirugikan akibat Pasal 2 ayat 1, 2, serta Pasal 8 huruf F UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dianggapnya tak sejalan dengan UUD 1945.
“Sejatinya, HAM bukanlah kebebasan individualis, tetapi dalam Pembukaan UUD 1945 telah secara jelas menyebutkan di dalamnya terdapat sumber normatif bagi sumber hukum positif Indonesia,” ujar Abdullah.
Abdullah menguraikan HAM dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, di antaranya hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas pembangunan dan hak khusus lainnya serta tanggung jawab negara dan kewajiban terhadap HAM.
Kemudian terdapat pula hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, di antaranya hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran, beragama, tidak diperbudak, dan diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
“Pengaturan HAM dalam UUD 1945 telah memosisikan secara seimbang. Pembatasan HAM hanya dapat ditetapkan dengan undang-undang guna semata-mata untuk menghargai hak orang lain,” ucap Abdullah.
Selain itu, Abdullah menegaskan HAM di Indonesia bersumber pada Pancasila. Sehingga ia mengingatkan pelaksanaan HAM bukan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan Pancasila.
“Dalil pokok Pemohon yang mendasarkan batu uji pada Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan dalil yang dipaksakan dan tidak memahami aturan HAM secara konprehensif yang diterapkan dalam UUD 1945,” ucap Abdullah.
Abdullah pun merujuk aturan tentang perkawinan beda agama telah disampaikan MK pada 18 Juni 2015 dalam Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014. Putusan itu intinya negara mengeluarkan peraturan sesuai dengan nilai agama, moral, dan ketertiban umum.
“Maka, perkawinan beda agama justru menimbulkan ketidakpastian hukum. MK pun berpendapat setiap warga negara pada setiap tindakannya berhubungan dengan agama dan perkawinan termasuk hak konstitusional warga negara,” sebut Abdullah.*[Ril/voa-islam.com]