BANDUNG (voa-islam.com) - Pengamat Terorisme dari The Community Islamic of Ideological Anlyst (CIIA) Harits Abu Ulya memberikan analisa terkait pembunuhan satu keluarga di Sigi, Sulawesi Tengah beberapa waktu yang lalu.
Latar belakang pembantaian tersebut menurut Haruts lebih dominan pada soal bertahan hidup bagi kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur).
"Untuk survive, selain mereka butuh logistik makanan dan kebutuhan pokok lainya juga butuh aman bagi keselamatan nyawa kelompok mereka," katanya dalam keterangan tertulisnya kepada Voa Islam, Ahad (29/11) kemarin.
"Soal logistik, bisa didapat dari santunan penduduk setempat yang dekat dengan persembunyian mereka atau mereka mengambil dengan cara ilegal. Dan di saat menjadi buronan aparar, mereka butuh aman," lanjutnya.
Dua faktor logistik dan keamanan kelompok ketika terancam lanjut Harits bisa memicu tindakan kekerasaan terhadap pihak yang menghalangi atau menjadi sumber ancaman.
Oleh sebab itu, menurutnya lagi, semua pihak terutama penduduk setempat yang di anggap bisa menjadi pembocor atau informan kepada aparat perihal keberadaan mereka maka jalan pintasnya di eksekusi.
"Beberapa pekan yang lalu ada dua anggota MIT yang tewas ditangan aparat, dan bisa jadi kelompok MIT menduga ada salah satu keluarga dari penduduk setempat menjadi informan atas keberadaan mereka. Dan ini sangat mungkin memicu dendam kelompok MIT untuk melakukan aksi pembantaian yang terjadi di Sigi Poso," jelasnya.
"Atau aparat perlu mengali lebih jauh, bisa jadi ada kemungkinan konflik pribadi antara keluarga yang dibantai dengan kelompok pelaku," tambahnya.
Menurut Harits, kalkulasi strategisnya adalah kalau aksi tersebut disengaja hanya sekedar untuk memberikan pesan bahwa eksistensi kelompok mereka masih ada. Maka ini kata Harits langkah bunuh diri bagi MIT karena aksi yang dilakukan menjadi jejak dan mempermudah aparat untuk segera memetakan serta langkah penyekatan agar ruang gerak kelompok MIT makin sempit.
"Menjadi lain perkara, jika aksi tersebut telah diperhitungkan oleh MIT sebagai pengalihan atau pengelabuhan perhatian aparat. Yang eksekusi cuma beberapa orang saja, tapi sebagian besar kelompok ditempat yang berbeda atau ingin bergeser ditempat yang lebih aman. Dengan kata lain aksi pembantaian sebagai 'exit door' agar bisa bergeser ketempat yang lebih aman menurut mereka," ungkapnya.
"Kemungkinan terakhir, soal pembantaian ini yang eksekusi bukan dari kelompok MIT. Sebab dibalik itu ada kepentingan lebih besar terkait isu terorisme di Poso. Ini sekedar hipotesa, perlu elaborasi lebih mendalam biar terang benderang," ujarnya.
Dan diluar itu semua muncul tanda tanya besar dimata Harits, bahwa operasi perburuan teroris di Poso sudah digelar berjilid-jilid, bertahun-tahun, negara punya Polisi dengan Brimob dan Densus88 nya.
"Bahkan di backup TNI yang punya pasukan Raider, pasukan khusus (Komando) di tiap angkatan, bahkan sekarang punya Koopsus. Dengan logistik melimpah, dan dukungan politik yang cukup. Bahkan ada BNPT yang juga bekerja di Poso," tuturnya.
"Lantas untuk memburu sekitar 10 orang kenapa jadi berlarut-larut? Kapan saatnya Poso rakyatnya bisa damai dan normal menjalani hidupnya? Siapa yang peduli?" pungkasnya. [syahid/voa-islam.com]